Antara Pilkada dan Memilih Pemimpin Muslim
KIBLAT.NET – Tidak lama lagi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak bakal digelar. Pemerintah telah menetapkan hari pelaksanaan Pilkada pada 9 Desember 2015 sebagai hari libur nasional. Itu artinya, masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memilih pemimpin sesuai dengan keinginan mereka.
Namun, seringkali setiap akan menghadapi pemilu, masyarakat kita sering dibuat bingung dalam menentukan siapa pemimpin yang layak mereka pilih. Sehingga, tidak sedikit di antara mereka yang memilih untuk golput. Banyak alasan yang terungkap, salah satunya selain kredibilitas dan kualitas calon pemimpin yang meragukan, masyarakat juga banyak dikecewakan dengan janji-janji palsu bakal calon pemimpin pada saat kampanye.
Lalu, bagaimana dengan sikap kita, apa yang semestinya kita lakukan? Siapakah sosok pemimpin yang layak kita pilih untuk kemudian kita perjuangkan bersama? Tentunya sebagai Muslim sejati, semua pilihan itu akan kita ukur sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Agar persoalan ini lebih mudah kita pahami, tentu kita harus memahami terlebih dahulu apa fungsi dan tujuan dari kepemimpinan itu sendiri, kemudian bagaimana syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang sehingga ia layak untuk diangkat menjadi pemimpin.
Urgensi Kepemimpinan dan Tujuan Pengangkatannya
Bagi umat Islam, mengangkat pemimpin merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Keberadaannya memiliki peran yang cukup fundamental dalam kehidupan umat. Syariat Islam tidak akan tegak secara kaffah kecuali di bawah perlindungan sebuah kepemimpinan. Karena dalam Islam, kita tidak hanya diperintahkan shalat, puasa, sedekah dan sebagainya yang bisa dilakukan secara individual.
Lebih daripada itu, Islam juga menuntut kita untuk mengamalkan perintah-perintah lain secara kaffah. Misalnya perintah untuk menegakkan zakat, haji, amar ma’ruf nahi munkar, jihad penegakkan hudud, qishash dan lain sebagainya. Semua syariat tersebut tentu tidak mungkin diwujudkan dengan sempurna kecuali dilakukan secara berjamaah dan diarahkan oleh seorang pemimpin.
Imam At-Taftazani berkata, “Sesungguhnya Asy-Syaari’ (Allah SWT) telah memerintahkan untuk menegakkan hudud, menjaga perbatasan, menyiapkan pasukan untuk berjihad, berbagai perkara yang berkaitan dengan penjagaan aturan dan penjagaan wilayah Islam. Itu semua merupakan perkara-perkara yang tidak bisa terlaksana secara sempurna kecuali dengan keberadaan seorang Imam. Dan setiap perkara yang ketiadaannya membuat kewajiban mutlak tidak terlaksana -sementara dia mampu diusahakan- maka perkara itu hukumnya menjadi wajib.” (At-Taftazani, Syarhul Maqashid, 5/ 236).
Pendapat At-Taftazani di atas selaras dengan kaidah fikih yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu:
مَا لَا يَتِمُ الوَاجِبَ إِلا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Segala sesuatu yang mana sebuah kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukannya, maka sesuatu tersebut menjadi wajib dikerjakan.”
Berikutnya, Ibnu Taimiyah juga menegaskan, “Harus diketahui, bahwa adanya kepemimpinan untuk mengurusi urusan orang merupakan kewajiban agama (Islam) yang paling besar. Bahkan, tanpanya, agama dan dunia ini tidak akan tegak.” (Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, 27/ 390).
Tentunya, kesimpulan hukum tersebut bukan tanpa dasar. Namun ada banyak ayat dan hadits yang mendasari munculnya pendapat tersebut. Misalnya ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk taat kepada Ulil Amri. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…” (An-Nisa’: 59)
Syaikh Ad-Dumaiji berkata, “Perintah untuk menaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 47).
Karena besarnya nilai urgensitas seorang pemimpin, Rasulullah SAW selalu memerintahkan umatnya untuk senantiasa berada dalam sebuah kepemimpinan. Bahkan ketika safar sekalipun, jika jumlahnya lebih dari tiga orang, beliau menganjurkan untuk mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin. Sebagaimana beliau SAW bersabda:
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ
“Jika tiga orang berada dalam suatu perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” (HR Abu Dawud)
Tingginya nilai kewajiban tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari besarnya amanah dan tujuan dari kepemimpinan itu sendiri. Dalam Islam, para ulama sepakat bahwa tujuan kepemimpinan secara umum ada dua, pertama: Hifdhuddiin (menjaga eksitensi agama), kedua: Siyasatuddunya Bihi (mengatur dunia dengan agama).
Imam Al-Kamal Bin Hammad Al-Hanafi berkata, “Tujuan pertama dalam penegakan kepemimpinan adalah untuk menegakkan agama. Maksudnya adalah menegakkan syi’ar-syi’ar agama sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, yaitu dengan memurnikan segala ketaatan kepada Allah, menghidupkan sunnah-sunnah, dan menghilangkan bid’ah agar seluruh manusia bisa sepenuhnya menaati Allah SWT.” (Al-Musamarah Syarh Al-Musayarah, hal. 153).
Kemudian bersamaan dengan itu juga, seorang pemimpin juga harus mengatur seluruh undang-undang sesuai dengan ketetapan hukum yang telah Allah SWT turunkan dalam Al-Qur’an serta diajarkan di dalam sunnah Nabi SAW. Allah SWT berfirman:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Al-Maidah: 48)
Karena besarnya peran kepemimpinan tersebut, dalam tataran global, para ulama menjuluki mereka sebagai sosok pengganti para nabi dalam mengemban tugas keumatan. Oleh kerena itu, tugas pokok mereka adalah menuntun umat dalam rangka menegakkan syariat secara kaffah serta menjalankan roda pemerintahan dengan petunjuk Islam.
Kesimpulan tersebut disebutkan oleh imam Al-Mawardi dalam kitabnya Ahkamus Sultaniyah, ia berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengannya.” (Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3).
Syarat Menjadi Seorang Pemimpin
Besarnya tanggungjawab seorang pemimpin, menyebabkan para ulama menetapkan syarat yang cukup ketat dalam pengangkatan seseorang menjadi pemimpin. Siapapun yang bisa memenuhi syarat tersebut, maka ia layak untuk dilantik. Demikian juga sebaliknya, ketika syarat tersebut hilang dari dirinya. maka kepemimpinannya harus dilengserkan.
Agar tujuan kepemimpinan tersebut bisa terwujud, maka syarat pertama yang mutlak harus dimiliki adalah Islam. Pemimpin tidak boleh dari selain Muslim, karena tidak mungkin seseorang bisa mewujudkan tujuan kepemimpinan kecuali ia beragama Islam. Sehingga, para ulama sepakat tentang keharaman mengangkat orang kafir sebagai pemimpin. Dan jika seandainya seorang pemimpin murtad (keluar dari Islam) di tengah masa pemerintahannya, maka dia wajib digulingkan.
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi wali [pemimpin] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)?” (An-Nisa’: 144)
Berikutnya selain harus Muslim, para ulama juga menetapkkan syarat-syarat lain yang harus dimiliki oleh calon pemimpin. Dalam kitab Ahkamus Sulthaniyah, Imam Al-Mawardi menyebutkan, di antara syarat tersebut ialah: Baligh, berakal sehat, merdeka, laki-laki, memiliki ilmu dalam mengatur pemerintahan, Al-‘Adalah (tidak terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan hal-hal yang mubah yang mengurangi harga diri), memiliki kapabiilitas mental, yaitu memiliki keberanian dalam menegakkan syariat Islam, serta tidak memiliki cacat fisik. (Al-Mawardi, Ahkamus Sulthaniyah, hal 5 dan Ad-Dumaiji, Imamah Udhma, 233/265).
Semua ketentuan yang ditetapkan oleh para ulama tersebut tidak lain agar tujuan kepemimpinan di dalam Islam dapat terwujudkan dengan sempurna. Yaitu menjaga kemurnian agama dan mengatur pemetintahan dengan syariat Islam.
Sehingga untuk menentukan siapakah pemimpin yang layak diangkat, kita tidak cukup hanya melihat status muslim atau tidaknya orang tersebut. Lebih daripada itu, kita juga harus tahu tentang kredibilitasnya, kemampuan ilmunya, keberaniannya dalam menegakkan syariat, serta syarat-syarat lainnya. Bahkan, sebagian ulama ada yang mensyaratkan seorang pemimpin itu harus memiliki kemampuan untuk berijtihad dalam menyimpulkan sebuah hukum.
Lantas, Apa yang Harus Dilakukan?
Usaha untuk meraih harapan kepemimpinan yang disebutkan di atas, tentu sangat sulit jika diperjuangkan lewat jalur demokrasi yang berlaku di negara kita hari ini. Sebab, selain prinsip dasarnya yang bertolak belakang, syarat kepemimpinan yang ditetapkan dalam sistem demokrasi pun sangat berbeda dengan ketentuan yang ada dalam Islam. Belum lagi ketika jika melihat produk pemimpin yang dihasilkan selama ini, jauh dari harapan yang diinginkan bahkan tidak sedikit yang mengecewakan umat.
Sehingga wajar, jika sebagian kaum muslimin lebih memilih jalan lain yang lebih pasti untuk mewujudkan harapan kepemimpanan tersebut. Munculnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi alasan kuat bagi mereka untuk menghindar diri dari pemilu. Dalam fatwa MUI tersebut dinyatakan bahwa umat Islam haram untuk memilih pemimpin yang tidak memenuhi kriteria: beriman dan bertakwa, jujur, terpercaya, aktif dan aspiratif, mampu dan memperjuangkan kepentingan umat Islam.
Demokrasi memang tidak bisa dijadikan solusi untuk mencari pemimpin yang ideal. Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan kondisi umat saat ini? Ketika kaum muslimin tidak mau terlibat dalam pemilihan, maka secara otomatis orang-orang kafir pun akan memanfaatkan sistem tersebut. Lalu dengan mudahnya mereka menduduki kursi kepemimpinan. Sehingga dengan posisi tersebut, orang-orang kafir dapat leluasa menyebarkan agamanya serta menghambat dan mempersulit jalannya dakwah Islam.
Realitas inilah yang kemudian oleh sebagian praktisi dakwah mencoba mencari solusi dengan ikut hadir dan terlibat dalam pemilihan (pemilu). Tentunya bukan dalam rangka membenarkan demokrasi, namun lebih kepada kondisi yang dharurat. Sehingga dalil yang sering digunakan adalah kaidah ushul fikih: jalbu mashalih wa dar’ul mafasid yaitu mencari maslahat dan menghindari mafsadat. Atau dalil yang lebih tegas lagi, yaitu kaidah irtiqabu akhaffi dhorurain: boleh memilih kerusakan yang lebih ringan daripada harus mendapatkan kerusakan yang lebih besar.
Walaupun tidak sepenuhnya tepat, namun dalam kondisi tertentu dalil tersebut juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Apalagi di sebagian daerah, calon pemimpin yang maju di pilkada nanti hanya ada dua kubu, yang satu mengusung calon dari kalangan non-Muslim, sedangkan yang satu lagi berasal dari tokoh Muslim. pilihannya hanya ada dua, jika kaum muslimin tidak memilih tokoh Muslim, maka orang kafir dipastikan akan menang dan memimpin daerah tersebut.
Al-Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami, dalam pertemuan ke-19 Rabithah ‘Alam Islami, di Mekkah Pada 22-17 Syawwal 1428H (3-8 November 2007M) menelurkan fatwa bahwa hukum pemilu tergantung keadaan di sebuah negara, di antaranya: Partisipasi seorang muslim dalam pemilu bersama non-Muslim di negeri non-Muslim, termasuk permasalahan As-Siyasah Asy Syar’iyah yang ketetapan hukumnya didasarkan sudut pandang pertimbangan antara maslahat dan kerusakan, dan fatwa tentang masalah ini berbeda-beda sesuai perbedaan zaman, tempat, dan situasi.
Namun demikian, baik kelompok yang terlibat dalam pemilu ataupun tidak, tentu tidak boleh berhenti di titik itu saja. Akan tetapi masing-masing kelompok punya komitmen dasar dalam perjuangan untuk membentuk kepemimpinan yang dapat menerapkan syariat Islam secara utuh. Bagi kelompok yang terlibat dalam pemilu, tidak seyogyanya bereuforia dengan hasil yang diperoleh dalam pemilu, visi penegakkan syariat tetap harus menjadi tujuan utama yang harus selalu diperjuangkan.
Sebagaimana yang tidak terlibat pemilu pun juga tidak tinggal diam tanpa memberi solusi. Tetapi tetap berdakwah menyadarkan umat tentang hakikat kepemimpinan Islam yang sejati, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar serta terus membangun semangat jihad demi mewujudkan harapan Islam dalam menjalani kehidupan ini. Wallahu ‘alam bis shawab!
Penulis: Fahrudin
terus kesimpulannya apa? boleh ga ikut memilih dlm pilkada dlm kondisi sekarang? Kesimpulannya ga jelas…
sepertinya penulis ingin mengungkapkan demokrasi sistem yang tidak dapat dipercaya, kita ga perlu ikut2an. tapi kalau ada saudara muslim yang masih menaroh harapan dalam mnghindari mudharat..ya kita harus tasamuh, toleransi harus dikedapankan karena mereka juga menggunakan dalil dan ddukung oleh beberapa ulama yang muktabar.
hukum demokrasi haram: sepakat (ushul)
hukum memanfaatkan demokrasi: ikhtilaf (ijtihadi)