Pilkada (Harus) Pilih Siapa?
KIBLAT.NET – Seperti berlaku pada sebelumnya, Pilkada yang akan digelar esok, 9 Desember 2015 diiringi oleh pro-kontra. Diskursus perlunya mencoblos atau tidak—dalam perspektif aktivis Islam, tentunya, kembali mencuat. Namun dibanding periode sebelumnya, kali ini lebih meruncing. Sebab, fakta di lapangan membuktikan rezim Jokowi dinilai tidak berpihak kepada Islam sebagai agama mayoritas.
Tampilnya para pejabat yang begitu mudahnya berkomentar, bahkan membuat kebijakan yang merugikan Islam, munculnya berbagai tokoh dan sosok-sosok yang dengan bebas dan terang-terangan menista Islam, adalah corak khas rezim yang sekarang berkuasa bila dibandingkan rezim sebelumnya.
Ideologi anti Islam seperti Liberalisme dan Syiah Rafidhah tampil bebas mengkampanyekan misinya. Kelompok minoritas pun mulai berani melarang pendirian masjid, menolak wacana wisata syariah, bahkan sampai tindakan anarkis seperti perusakan tempat ibadah.
Neraca keseimbangan kekuatan, berubah. Bila dahulu kontrol penuh berada di pusat kekuasaan, hari ini aspirasi publik—dalam batas-batas tertentu—mendapatkan porsi lebih besar. Beberapa kebijakan politik dan keputusan hukum dapat dibuat atau digagalkan karena tekanan publik. Di titik inilah kelompok anti Islam berusaha menyalip, dan di titik ini pulalah sebagian aktivis Islam ingin memainkan peran.
Namun, sebagian aktivis Islam lainnya punya pandangan berbeda. Ada beberapa hal yang membuat kelompok ini ragu, partisipasi dalam Pilkada mampu membawa maslahat dan meredam mudharat. Di antaranya, belum adanya role model kepemimpinan Islam yang ideal.
Contoh yang selalu dibawa oleh kelompok partisipan Pilkada adalah Mursi dan Erdogan, dua tokoh di dua negara yang sistem pemerintahannya berbeda dengan Indonesia.
Krisis kepemimpinan yang sudah akut dalam tubuhnya membuat umat begitu girang luar biasa bila ada kepala daerah yang menampakkan kesalihan pribadinya. Mengajak dan memfasilitasi rakyat untuk shalat berjamaah, menolak penyelenggaraan acara oleh aliran sesat dan melibas tempat maksiat.
Kita tentu tidak meremehkan hal tersebut sebagai prestasi dan amal saleh—terlepas dari motivasinya, apakah murni didasari prinsip Islam atau trik politik. Amal saleh di atas adalah milestone menuju amal saleh lainnya yang lebih berbobot, bukan garis finish, termasuk risiko berbenturan dengan kebijakan pusat saat membawa kepentingan umat Islam.
Hal yang juga dikritisi oleh kelompok non-partisipan adalah kepanikan yang melupakan hal-hal bersifat fundamental dan strategis. Umat selama ini hanya ditakut-takuti oleh bahaya pemimpin non-Muslim, bahaya gurita Syiah dan bayangan buruk lainnya. Namun tak ada jaminan bahwa Calkada yang menjadi pesaing Calkada non-Muslim atau pro aliran sesat, akan membawa maslahat bagi Islam dan melindunginya dari mudharat—dengan segenap program kerjanya ke depan, maupun kontrak politiknya kepada umat.
Selain itu, penerapan prinsip keikutsertaan dalam Pilkada atau Pemilu yang dianggap sebagai perkara mutaghayirat (fleksibel, zhanniy, ijtihadi) seringkali melupakan sisi lain yang—mestinya—menjadi pondasinya, yaitu ats-tsawabit (konstan, qath’iy, mujma’ ‘alaih). Dalam hal ini, kita sering terjebak pada proses menaikkan tokoh Muslim sebagai pemimpin, namun lupa memberikan ikatan kepada calon pemimpin itu bahwa melaksanakan hukum/ syariat Islam adalah perkara tsawabit.
Berpartisipasi atau absen dalam Pilkada, adalah perkara ijtihadi dan kondisional. Semestinya, titik inilah yang dapat membuat umat menjadi dewasa. Menganggap partisipasi dalam Pilkada sebagai pepesan kosong yang menegasikan sama sekali manfaat bagi Islam, adalah pandangan yang kurang bijak. Ijtihad berpartisipasi dalam Pilkada seharusnya dimaklumi sebagai sebuah pilihan yang memiliki pijakan yang sah, dan ruang perjuangan yang memiliki pasukan penjaganya sendiri.
Sebaliknya, argumen kelompok non-partisipan juga harus dihargai sebagai sebuah keyakinan dan pola pikir kritis. Kalaulah dalam Pilkada mereka absen, bukan berarti mereka absen juga dalam amal saleh lain—yang banyak ragamnya—demi membawa manfaat dan menolak mudharat bagi Islam. Sebagaimana kelompok partisipan itu beragam motif, demikian pula kelompok non-partisipan, tidak semua fatalis.
Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa Pilkada hanyalah sebuah fase antara dari sebuah sistem pemerintahan yang berlaku di negeri ini, bukan titik finish. Prestasi menobatkan tokoh Islam sebagai Kepala daerah harus disempurnakan dengan upaya mendorong Kepala daerah tersebut berbuat untuk Islam, sebesar-besarnya, sebanyak-banyaknya.
Non-partisipan juga tidak seharusnya terpengaruh riuh-rendah diskursus dan pro-kontra Pilkada, tetap fokus beramal untuk Islam di ranah lain yang masih sangat luas. Semua sama-sama akan diminta bertanggungjawab kepada Allah tentang apa yang sudah dilakukan untuk menolong agama-Nya, baik partisipan Pilkada, maupun non-partisipan.
Pada titik kompromi, kita bisa menerapkan kesepakatan bahwa isi kepala boleh berbeda, namun langkah kaki haruslah tetap mengarah untuk kepentingan Islam. Di sisi lain, kita juga harus berhati-hati dalam menentukan sikap, bukan asal-asalan. Sebab, taklid buta dicela agama dan dinilai sebagai dosa. Apalagi jika menentukan sikap berdasarkan hawa nafsu belaka.