Membongkar Gerakan Nativisasi di Indonesia: Purwakarta [Bukan] Tanah Dewata Sudut kota Purwakarta

Membongkar Gerakan Nativisasi di Indonesia: Purwakarta [Bukan] Tanah Dewata

KIBLAT.NET, Purwakarta – Menjabat sebagai Bupati Purwakarta sejak tahun 2008, Dedi Mulyadi dikenal gencar mengangkat nilai tradisi dan budaya di lingkungan pemerintahan. Wajah Purwakarta mengalami perubahan drastis di bawah kepemimpinannya. Ia mengusung pembangunan yang berasas kebudayaan dan mengajak masyarakatnya kembali ke budaya Sunda masa lampau.

Untuk itu, Dedi Mulyadi menerapkan sejumlah kebijakan untuk membangkitkan kembali apa yang disebutnya sebagai tradisi ‘Sunda lama’. Mulai dari cara berpakaian warga, penyusunan tata kota hingga penyelenggaraan festival-festival kebudayaan.

Upaya itu mendapatkan respon positif dari sejumlah warga, namun pada saat yang bersamaan juga mendapatkan sorotan dari kalangan ulama. Sejumlah kebijakan dan peraturan yang dijalankan Bupati Dedi selama ini dinilai sebagai gerakan nativisasi dan bertentangan dengan akidah umat Islam di Purwakarta.

Nativisasi adalah upaya mengembalikan masyarakat kepada budaya-budaya pra-Islam yang dianggap asli dan bersifat klenik. Padahal, selama ini Purwakarta dikenal sebagai basis Muslim Sunda yang relijius sehingga dikenal sebagai Kota Tasbeh. (Baca juga: Identitas Peradaban Nusantara dan Politik Nativisasi Belanda)

Sosok Ulama Purwakarta yang selama ini dikenal keras melawan nativisasi di Purwakarta adalah KH Muhammad Syahid Joban.

KH Syahid Joban saat menunjukkan bukti-bukti penodaan agama yang dilakukan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.

KH Syahid Joban saat menunjukkan bukti-bukti penodaan agama yang dilakukan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.

Ia menilai bahwa nativisasi dan kampanye budaya di Purwakarta lahir dari pola pikir keagamaan Dedi Mulyadi yang bertentangan dengan akidah Islam.

“Rakyat itu tergantung agama pemimpinnya. Dedi Mulyadi ini dia mengaku Islam, cuma di kesehariannya dia melaksanakan ajaran-ajaran di luar Islam,” kata KH Syahid Joban saat ditemui Kiblat.net, pada Jumat malam (04/12).

Pemimpin Majelis Taklim Minhajus Sholihin itu mengungkap sejumlah pernyataan dan tindakan Dedi Mulyadi yang bertentangan dengan keislamannya.

Dia mencatat pernyataan Bupati Dedi yang bertentangan dengan akidah Islam. Di antaranya, pernyataan Prabu Siliwangi merupakan pawang keselamatan. Sehingga, dengan menyebut nama Prabu Siliwangi akan terhindar dari kecelakaan di Tol Cipali.

Meski demikian, Dedi sempat memberikan penjelasan soal pernyataannya itu. Seperti dilansir dari Vivanews pada 9 Juli 2015, Dedi menuturkan, berbicara menyebut atau nyambat nama Prabu Siliwangi itu jangan disalah artikan ke hal-hal yang sifatnya mistik atau kemusrikan, akan tetapi harus paham dulu tentang makna Prabu dan Siliwangi.

“Kalau Prabu itu diartikan secara bahasa dan budaya adalah yang maha Raja, sedangkan Siliwangi adalah pemberi kasih sayang. Nah siapa yang mempunyai Maha Raja dan pemberi kasih sayang?” demikian tafsir Dedi.

KH Syahid Joban menambahkan, di lain kesempatan, Dedi pernah mengatakan bahwa pemimpin hebat harus menikahi Nyi Roro Kidul. Tak hanya itu, dia juga menyimpan kereta kencana yang diperuntukkan bagi tokoh gaib itu, memberinya sesajen dan mengaraknya saat perayaan hari jadi Kota Purwakarta. “Ini menunjukkan kecintaan dia kepada Nyi Roro Kidul berlebihan,” ujarnya.

Hinduisasi Purwakarta?

Kemudian, Kyai Syahid mengutip pernyataan Dedi Mulyadi dalam satu bukunya yang mengatakan bahwa dulu raja-raja orang Sunda adalah orang Hindu. Jadi bukan Purwakarta mengikuti Bali, tetapi Bali mengikuti Purwakarta.
“Karenanya di Purwakarta ini ada upaya menghinduisasi Islam. Silakan Dedi Mulyadi mengusung budaya, tapi jangan mengotak atik soal akidah, apalagi menggantikan akidah Islam,” kata Kyai Syahid Joban.

Upaya hinduisasi di Kota Tasbeh, menurut ulama asli Purwakarta itu tebukti dengan adanya pembangunan patung-patung di berbagai titik di Purwakarta. Bahkan, pemerintah daerah berencana untuk membuat 1.000 patung menong, patung dengan dua wajah di depan dan dibelakang.

Festival Steak Maranggi di kawasan Situ Buled Purwakarta

Festival Steak Maranggi di kawasan Situ Buled Purwakarta pada Sabtu, (05/12)

Selanjutnya, hindusasi terlihat dengan dibuatnya gapura-gapura Hindu. Gapura-gapura yang ada di Purwakarta, menurut KH Syahid Joban, hampir semua dibuat mirip dengan yang ada di Bali. “Kita punya identitas agama-agama di Indonesia, (tapi) yang menonjol di Purwakarta adalah identitas agama Hindu,” kata Syahid.

Di Purwakarta juga diberlakukan aturan mengikat pohon-pohon dengan kain poleng (hitam putih) dan ditambah kain warna kuning, seperti yang ada di Bali.

Menurut Dedi Mulyadi aturan itu diberlakukan sejak ia menjabat sebagai bupati. “Baru mulai sekitar 2009, waktu saya menjabat saja,” ucap Dedi yang kerap menggunakan pakaian ‘kebesaran’ warna putih ini.

Seperti dilansir dari detik.com, kain bercorak warna hitam dan putih yang mengikat pohon pun memiliki arti tersendiri bagi Dedi. Menurutnya, Warna hitam dan putih merupakan warna spiritualitas orang Sunda .

“Jadi oleh karena itu hanya dua warna itu saja. Hitam dan putih. Tidak ada warna lain. Karena itu melambangkan dua hal yaitu tanah dan air. Tanah yang hitam dan air yang putih,” tutur Dedi.

Realitanya, kain Poleng bermotif kotak dengan warna hitam-putih sudah menjadi bagian dari kehidupan religius umat Hindu di Bali Menurut penelitian I Ketut Rupawan, dari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, makna filosofis kain poleng mewujudkan rwabhineda itu sendiri.

Menurut ajaran Hindu, rwabhineda itu adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, utara-selatan, panjang-pendek, tinggi-rendah, dan seterusnya.

Kain Poleng yang diikatakn pada pohon-pohon besar atau juga tempat yang dianggap tenget(angker) dimaksudkan untuk memberikan tanda bahwa pada lokasi tersebut tinggal (ditempatkan)/stana energi “roh” para bhuta/penunggu karang (danhyang).

KH Syahid Joban juga menyebut bahwa Dedi Mulyadi mensakralkan bulan purnama. Aturan itu bahkan dituangkan dalam Perbup No 70a Tahun 2015 tentang Desa Budaya.

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi

Setiap bulan purnama pada pukul enam hingga sembilan malam lampu-lampu di Purwakarta dipadamkan. KH Syahid menilai bahwa kebiasaan itu mengikuti orang Hidhu yang berkeyakinan bahwa setiap malam bulan purnama ada Dewa Candra Purnama yang bisa memberikan penghapusan dosa.

Saat perayaan hari jadi Kota Purwakarta, terang KH Syahid Joban, juga dibuat janur penjor yang biasa digunakan saat pemujaan dewa-dewa Hindu. Dia pun menilai bahwa model ikat kepala yang dikenakan oleh Dedi Mulyadi bukan merupakan khas orang Sunda, tetapi khas Bali.

“Jadi yang diusung oleh Dedi ini bukan budaya Sunda yang sebenarnya, tetapi identitas agama lain yang bertentangan dengan syariat Islam,” imbuhnya.

Senada dengan KH Syahid Joban, Sejarawan Muslim Tiar Anwar Bachtiar menilai kebijakan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang mendorong masyarakat untuk kembali kepada ajaran-ajaran asli Sunda merupakan bagian dari gerakan nativisasi. “Itu gerakan nativisasi,” katanya saat dihubungi Kiblat.net pada Senin malam (07/13)

Nativisasi bukan saat ini saja terjadi, nativisasi merupakan warisan strategi kolonial Belanda untuk melemahkan umat Islam sudah dilakukan sejak lama dan terus berlangsung hingga sekarang. Penjajah Belanda melalui program nativisasi, ingin berargumen bahwa Indonesia berakar budaya dari Hindu dan menjauhkan bangsa ini dari Islam. “Ketika umat Islam lemah, jauh dari aqidah, lebih mudah untuk dikalahkan,” ucap Tiar.

KH Syahid Joban pun menegaskan bahwa Islam tidak anti terhadap budaya, tetapi Islam anti budaya yang menyimpang dari agama. Sebab, dulu dakwah Walisongo menggunakan sarana budaya. Mereka mengajak orang-orang yang tidak tahu agama dan masih kental dengan alam pewayangan Hindu masuk ke dalam Islam.

“Di Purwakarta ini sudah Islam semua, lha kok mau dibawa kembali ke alam pewayangan,” pungkasnya.

 

Reporter : Imam Suroso dan Kemal Al-Bajeber
Editor: Fajar Shadiq

Leave a Reply