Miris! Warga Purwakarta Bilang Kota Tasbeh Jadi Semakin Mistis Umat Islam Purwakarta memulai pawai obor dan Pembacaan do'a awal dan akhir tahun hijriyah pada 13 Oktober 2015. Para peserta juga memprotes tata kota Purwakarta yang dipenuhi patung-patun dan budaya mistis Hindu.

Miris! Warga Purwakarta Bilang Kota Tasbeh Jadi Semakin Mistis

KIBLAT.NET – Purwakarta, sebuah kota kecil di Tanah Pasundan yang mendapat perhatian cukup luas terkait gebrakan budayanya. Adalah putra kelahiran Subang bernama Dedi Mulyadi yang mengemukakan konsep ‘Purwakarta Spirit Budaya’. Menjabat sebagai Bupati sejak tahun 2008, ia menerjemahkan konsep spirit budaya dalam sejumlah kebijakan pembangunan dan peraturan daerah.

Dedi Mulyadi menelurkan sejumlah peraturan daerah yang mengangkat nilai-nilai tradisi dalam lingkungan pendidikan hingga kemasyarakatan. Misalnya saja, Peraturan Bupati Purwakarta (Perbup) No 69 Tahun 2015 tentang Pendidikan Berkarakter, Perbup No 70A Tahun 2015 tentang Desa Berbudaya, dan Perbup No 70B Tahun 2015 Tentang Ketahanan Budaya Masyarakat Kelurahan di Purwakarta.

Kiblat.net mencoba berkeliling di Purwakarta sejak Jumat (04/12/15) untuk melihat kondisi Kota Purwakarta yang sudah banyak berubah. Terlihat jelas, ada upaya masif dan terstruktur yang membuat sudut-sudut kota berjuluk Kota Tasbeh itu seakan kembali ke era tradisional.

Patung-patung yang beraneka ragam, topi caping, sapu lidi, payung dan lampion menjadi landsmark Purwakarta seolah ingin menonjolkan budaya sebagai ciri khas kota ini. Setiap gang dan pintu masuk kota pun dihiasi gapura berarsitektur kerajaan Hindu masa lampau.

Ditemui oleh Kiblat.net di Gedung Dakwah Purwakarta pada Ahad, (06/12/15), Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengaku apa yang dilakukannya di Purwakarta ini terwujud dari rasa heran. Ia keheranan dengan pembangunan budaya sunda yang tidak ada peninggalan fisiknya dalam bentuk ajaran yang berkembang di masyarakat. Baik itu lewat cerita rakyat atau lainnya. Sehingga, ia mencoba mencari bentuk kesundaan yang ia pelajari. Kemudian ia mencoba mentranformasikannya dalam konsep ‘Purwakarta kembali ke budaya’.

Bupati Purwakarta saat ditemui Kiblat.net di Gedung Dakwah Purwakrta pada Ahad, (06/12).

Bupati Purwakarta saat ditemui Kiblat.net di Gedung Dakwah Purwakrta pada Ahad, (06/12).

“Saya heran dengan bangunan fisik sunda yang tidak ada peninggalannya dalam bentuk ajaran yang berkembang dalam cerita rakyat, sehingga saya belajar dari daerah Jogja, Cirebon, Jawa Timur dan Jawa Tengah sampai saya bisa membangun gapura yang seperti ini dan diterapkan,” ucap Dedi usai acara diskusi ‘Membumikan Islam Nusantara’ yang digelar ISNU Purwakarta.

Pesatnya laju pembangunan itu sendiri memang membawa nilai positif bagi warga dan kebanyakan dari mereka menerima perubahan tersebut. Unsur seni yang kreatif dalam pembangunannya memang menjadi ciri kahs tersendiri. Namun, tidak semua warga Purwakarta setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh Dedi Mulyadi.

Salah satu di antaranya adalah Yeyen. Mahasisiwi berusia 18 tahun ini mengaku merasakan banyak perubahan pada kota kelahirannya. Ia juga melihat penataan kota yang semakin baik dan banyak dibangun ruang publik. Tapi dalam proses pembangunannya, Yeyen malah merasakan ada hal yang ganjil di kota yang ia tinggali.

“Iya sekarang ini memang cukup pesat ya, sekarang ini banyak kegiatannya seperti jalan santai, pawai egrang dan macem-macem. Tapi tidak semua itu positif, sewaktu masih SMA pada perayaan arak-arakan kereta kencana. Ada yang melihat kalo isi keretanya ada orangnya dan jadi rame semua temen-temen disekolah,” ucap Yeyen saat dijumpai Kiblat.net di seputaran Situ Buled saat Car Free Day, Ahad pagi.

Ia juga merasa takut dan merasakan adanya kemistikan yang terjadi karena dalam perayaan arak kereta kencana itu. Pasalnya, ada bau menyan sangat menyengat yang diringi gamelan sunda.

“Iya serem, waktu ngeliat di sana soalnya suasanya udah serem ditambah musiknya yang juga serem di dukung juga bau-bau menyan disana,” sambungnya.

Senada dengan Yeyen, warga Purwakarta lainnya bernama Haikal juga menyatakan hal yang sama. Siswa salah satu SMP Negeri di Purwakarta ini tidak setuju dengan pembangunan patung-patung. Menurutnya, kebijakan budaya itu tidak seharusnya diterapkan di seluruh Purwakarta.

Ia melihat bahwa ruang publik Purwakarta sudah sangat parah dengan berdirinya banyak patung-patung. “Itu mah udah parah. Harusnya kalo mau kayak gitu jangan bawa-bawa nama Purwakarta. Bawanya sama orang yang sepaham sama dia saja,” kata dia.

Sudut kota Purwakarta.

Sudut kota Purwakarta.

Lain halnya dengan Imin. Pria berusia 52 tahun ini memang tidak keberatan dengan pendirian patung-patung di tiap sudut kota, namun Imin mempertanyakan maksud dari pemasangan kain poleng (hitam putih) di pohon-pohon di Purwakarta.

“Makin kesini makin aneh-aneh aja, kalo patung sih ga masalah tapi ini pohon harus disarungin dan kita orang Islam ngucapin salam dengan sampurasun, ini kan udah aneh-aneh,” terang Imin.

Penolakan masyarakat terkait kebijakan budaya Dedi Mulyadi memang bukan reaksi spontan. Benihnya sudah muncul sejak September 2011 lalu. Kala itu, ratusan warga merobohkan dan membakar empat patung wayang yang terletak di pusat kota Purwakarta.

Belakangan, saat pawai obor perayaan tahun baru Hijriyah pada Oktober 2015, sejumlah umat Islam dan santri Purwakarta juga menggelar aksi penolakan bentuk-bentuk kemusyrikan di Purwakarta. Mereka mengusung spanduk “Purwakarta Kota Tasbeh Bukan Kota Hindu”.

 

Reporter: Imam Suroso dan Kemal Al-Bajeber
Editor: Fajar Shadiq

Leave a Reply