KIBLAT.NET – Ketika berdebat soal keyakinan dengan orang-orang kafir, mungkin kita sering mendengarkan pertanyaan-pertanyaan aneh yang muncul dari lisan mereka. Salah satunya ketika berbicara tentang Al-Qur’an, mungkin mereka akan bertanya, “Menurut Al-Qur’an, Tuhan kalian telah mencitapkan taqdir, sehingga sesatnya manusia juga bagian dari taqdir. Lalu buat apa Dia menyiksa orang selama-lamanya di neraka?”
Menjawab pertanyaan ini, ada sebuah jawaban yang cukup bagus yang dijelaskan oleh Syekh Abdul Majid Subh ketika ada orang bertanya dengan pertanyaan serupa, beliau berkata: Jika kita serius mencermati pertanyaan tersebut, maka kita akan menyimpulkan bahwa hal itu telah mencerminkan bentuk pengingkaran mereka terhadap neraka dan surga.
Islam menganut prinsip bahwa iman yang kokoh harus didasarkan pada akal, renungan, dan kebijaksanaan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لا يَسْمَعُ إِلا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَعْقِلُونَ
“Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta. Oleh sebab itu, mereka tidak mengerti.” (Al Baqarah: 171).
Makin sering orang merenungkan ciptaan, maka semakin kokoh imannya kepada Allah, Sang Khalik. Al-Qur’an mengakui takdir Ilahi dan kehendak manusia. Pengakuan ini tersurat jelas dalam ayat berikut:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yangdikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (An-Nahl: 93).
Al-Qur’an menolak alasan para pendosa yang mengatakan bahwa takdir sudah menentukan mereka untuk melakukan perbuatan dosa. Prinsip ini ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an:
Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada kami?” Kamu tidak mengikuti selain persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” (Al An’am: 148).
Orang yang berpikiran waras pasti tahu bahwa dunia ini meliputi takdir Allah dan kehendak manusia. Manusia misalnya, tidak punya kehendak dalam menciptakan tubuh dan anggota-anggota tubuhnya sementara dia punya kehendak sempurna dalam hal-hal tertentu seperti makan, minum, tidur, bekerja, bermain, belajar, mengajar, dan sebagainya. Maka dari itu, ia memikul tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan itu.
Dalam buku Risalah Tauhid, ulama terkemuka Muhammad Abduh mengatakan, “Karena orang yang berakal sehat mengakui bahwa mereka ada dan karena itu tidak ada perlunya membuktikan fakta ini. Mereka mengakui bahwa mereka punya kehendak tak terbantahkan mengenai perbuatan-perbuatan yang bisa dipilih. Karena itulah mereka melakukan atau menahan diri dari melakukan perbuatan-perbuatan itu dengan sengaja.”
Sekarang mari kita renungkan kutipan dari Injil yang membahas masalah takdir Ilahi dan kehendak manusia berikut ini:
“Tuhan menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran, sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka. Sebab mereka menggantikan kebenaran Tuhan dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin. Karena itu Tuhan menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab istri-istri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar.
Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan istri mereka dan menyala-nyala dalam birahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.” (Roma1: 18-27).
Sehingga Al-Qur’an—yang menganut prinsip takdir Ilahi maupun kehendak manusia—tidak menyangkal agama-agama samawi lain. Sebagai kesimpulan, saya ingin mengarahkan perhatian kalian pada fakta bahwa keyakinan kaum muslimin pada takdir Allah dan pada tanggung jawab mereka atas perbuatan yang mereka lakukan membuat mereka melaksanakan kewajiban mereka dalam menyebarkan kebajikan, kesejahteraan, keadilan, dan moralitas ke seluruh dunia.
Disadur dari buku “Mereka Bertanya, Islam Menjawab” karya Syekh Abdul Majid Subh, Penerbit Aqwam