Untaian Nasehat Syaikh Al-Maqdisi (1) : Jihad bukan Sekedar Menyerang Musuh

KIBLAT.NET – Ditinjau dari hakikatnya, para ulama membagi jihad menjadi dua macam, jihad difa’i (defensif) dan jihad thalab (ofensif). Jihad difa’i adalah pembelaan terhadap negeri dan kehormatan kaum Muslimin dari musuh yang menyerang. Sedangkan jihad thalab adalah cara menyerang orang-orang kafir di negeri mereka atau memerangi mereka di mana saja mereka berada.

Sementara dari hasil yang dicapai dengan jihad, amal qital (perang) ini terbagi menjadi qital nikayah (memukul dan menghantam musuh) dan qital tamkin (menguasai suatu daerah agar kaum Muslimin leluasa menegakkan diennya secara utuh).

Qital nikayah tujuannya memukul, memberi pelajaran, meneror dan menimpakan bencana pada musuh untuk menahan gangguan mereka pada kaum Muslimin, menyelamatkan orang-orang yang tertindas atau membebaskan tawanan. Meski tidak menghantarkan tamkin bagi kaum Muslimin dalam waktu dekat, qital jenis ini adalah amal shalih yang disyari’atkan. Para pelakunya—Insya Allah—tergolong orang-orang yang berbuat baik, tak peduli apakah kaum muhazimun (orang-orang yang bertekuk lutut di hadapan musuh dan mencari ridla mereka) ridha maupun tidak.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ ۚإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

“…. dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (At-Taubah:120).

Dalam ayat lain Allah ta’ala  juga berfirman:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Al Anfaal: 60)

Dalam ayat-ayat di atas, Allah SWT memberikan semangat untuk berperang di jalan-Nya secara umum maupun untuk membela kaum Muslimin yang tertindas, keduanya adalah amal shalih yang disyari’atkan.

Adalah Nabi SAW bila mengunjungi orang yang sakit, beliau mendoakan dia dengan ucapan:

 اَللَّهُمَ اشْفِ عَبْدَكَ يَمْشِي لَكَ إِلَى صَلَاة وَيَنْكَأُ لَكَ عَدُواً

“Ya Allah, sembuhkanlah hamba-Mu ini agar ia bisa berjalan untuk menuju shalat dan membinasakan musuh-Mu.”

Beliau menjadikan “membinasakan musuh” sebagai tugas dan tujuan hidup seorang Muslim, bahkan menyebutkan hal itu dalam doa untuk orang yang sakit. Hal ini untuk mengingatkan kaum Muslimin terhadap kewajiban itu dan mengobarkan semangat mereka, agar memanfaatkan kondisi sehatnya untuk merealisasikan tujuan mereka diciptakan. Di antara tujuan yang paling agung itu ada dua: ibadah kepada Allah saja dan membela agama-Nya dengan memukul musuh.

Qital nikayah untuk membela umat yang tertindas adalah realita umum qital kaum Muslimin di berbagai belahan dunia pada zaman kita ini. Meskipun begitu, ada jenis qital lain yang wajib diseriusi oleh bagi kaum Muslimin. Yaitu qital tamkin atau tahrir (pembebasan) sebagaimana dalam istilah masa kini. Qital jenis ini amat dibutuhkan oleh kaum Muslimin hari ini, di dalamnya terdapat nikayah (pukulan) terhadap musuh-musuh Allah sekaligus tamkin bagi kaum Muslimin di muka bumi. Sudah maklum bahwa bencana terbesar bagi umat Islam pada hari ini adalah mereka tidak memiliki Daulah Islamiyah tempat mereka menegakkan dien dan berlindung di dalamnya.

Memang banyak atsar yang mengisahkan banyak syuhada Islam dari kalangan sahabat atau tabi’in. Mayoritas mereka berangan-angan dan berdoa agar kudanya terbunuh, pedangnya patah di leher musuh dan ia mendapat karunia syahadah. Namun jangan lupa, mereka hidup dalam kondisi kaum Muslimin memiliki khilafah dan daulah.

Karena seringkali ketika kita baru saja memenang jihad yang orientasinya qital nikayah, tiba-tiba naiklah panglima atau tokoh yang menyimpang pemahaman dan  manhajnya. Padahal dia hanya duduk di belakang meja, bukan di parit-parit dan di belakang mortir, hanya menunggu saat kemenangan bisa dipetik. Atau mereka muncul di hadapan kita dari kotak-kotak pemungutan suara, menyingkirkan para mujahidin yang mengorbankan darah dan nyawa mereka.

Orang-orang yang menegakkan jihad di negeri-negeri kaum Muslimin harus kembali mengkaji tujuan, program serta rancangan qital mereka. Mujahidin harus memasukkan upaya tamkin kaum Muslimin di muka bumi dalam perhitungan dan program mereka.

Mereka mesti memilih para pemimpin yang tepat. Yaitu mereka yang memiliki ilmu syar’i, kepekaan terhadap waqi’ (realita), keberanian, ketegasan, kecepatan tanggap dan tidak enggan dari memegang kendali pemerintahan saat terjadi tamkin, agar buah jihad mujahidin tidak lenyap sia-sia atau dipetik orang-orang yang tidak beriman.

Sirah Rasulullah SAW menunjukkan bagaimana tamkin dan menegakkan negara lebih didahulukan daripada membunuh musuh. Nabi SAW tidak membunuh kaum munafikin yang menimbulkan beberapa gangguan di Madinah, padahal membunuh mereka termasuk nikayah pada musuh-musuh Allah.

Beliau juga mengakui keberadaan Yahudi di Madinah sebelum tamkin diraih, padahal perilaku mereka sangat busuk sementara mereka bukan kafir dzimmiy yang hina. Beliau tidak membunuh dan menangguhkan memusuhi mereka demi menjaga tamkin yang sudah dirintis dari awal, sebuah langkah yang wajib kita perhatikan.

Kemudian, setelah Allah memenangkan kaum Muslimin di Badr, barulah beliau melakukan operasi nikayah pada kaum Yahudi. Itupun tidak dilakukan secara meluas, melainkan hanya membunuh orang-orang tertentu yang tidak membahayakan kaum Muslimin jika dibunuh. Setelah kaum Muslimin berkuasa di muka bumi barulah Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya yang memerintahkan bersikap keras kepada orang-orang kafir dan munafik.

Ingatlah perintah Rasulullah kepada Hudzaifah saat ia diutus untuk mencari informasi tentang pasukan koalisi kafir yang mengepung Madinah, “Jangan melakukan sesuatu di tengah mereka,” dan dalam riwayat Muslim “Jangan membuat mereka geram terhadap saya.”

Dalam misi itu Hudzaifah tidak membunuh Abu Sufyan, pimpinan pasukan koalisi, padahal membunuh dia adalah nikayah terbesar terhadap musuh-musuh Allah. Hudzaifah membiarkan Abu Sufyan hidup, padahal membunuhnya saat itu amat mudah, sebagai ketaatan pada perintah Nabi SAW agar ia tidak memancing kegeraman mereka terhadap kaum Muslimin.

Peristiwa ini mengandung pelajaran berharga, meninggalkan qital nikayah demi menghindari mafsadah bagi kaum Muslimin dan negeri mereka sebelum kesempurnaan tamkin dan keleluasaan mereka di muka bumi terwujud.

Dalam kasus ini terdapat sikap mendahulukan maslahat yang lebih utama bagi kaum Muslimin dan menghindari mafsadah yang besar bagi mereka. Oleh karena itu, seharusnya pengorbanan dalam qital nikayah tidak sampai sebanding dengan yang dikerahkan dalam rangka tamkin.

Ini adalah sebagian hal yang ingin saya ingatkan dalam renungan ini. Maksud saya sama sekali bukan meremehkan keberadaan qital nikayah. Namun nikayah harus dilaksanakan dengan batasan syar’iy yang mempertimbangkan maslahat kaum Muslimin dan menampakkan jihad Islami dengan gambaran yang indah.

Diringkas dari buku “Mereka Mujahid Tapi Salah Langkah” karya Abu Muhammad Al-Maqdisi, Penerbit Jazeera.

Leave a Reply