Mubahalah Mubahalah

Haruskah Mengambil Jalan Mubahalah?

KIBLAT.NET – Belakangan ini kata mubahalah sering terdengar di kalangan aktivis Islam. Sejak awal munculnya ISIS, term mubahalah ini menjadi istilah yang sering diperbincangkan. Banyaknya isu kontroversial yang dimunculkan ISIS menjadi salah satu pemicu awal pecahnya barisan para aktivis dalam menyikapi persoalan. Banyaknya perbedaan yang berkembang sering memunculkan perdebatan di antara mereka. Bahkan tak sedikit yang berujung pada permusuhan.

Sebagian aktivis ada yang mencoba menyelesaikan persoalan tersebut lewat forum-forum diskusi. Namun, runcingnya perbedaan yang ada ternyata tidak mampu menentukan titik temu yang sama. Sehingga ajakan mubahalah pun sering terdengar. Tidak hanya muncul dari tokoh dakwah, terkadang sebagian aktivis pun berani melontarkan istilah tersebut untuk memvonis sesat pihak yang berlawanan dengannya. Naifnya lagi, ketika ajakan tersebut tidak dipenuhi oleh rivalnya, maka dengan serta merta vonis sesat pun kembali disematkan. Alasannya hanya satu, karena tidak mau diajak mubahalah.

Lantas, bagaimana hakikat mubahalah yang sebanarnya? Bisakah mubahalah menjadi solusi dalam setiap perbedaan, dan bolehkah cara seperti ini dilakukan antar sesama Muslim? Lalu, bagaimana syariat Islam mengatur semua ini? Berikut penjelasannya:

Apa itu Mubahalah?

Secara bahasa, kata mubahalah bermakna saling melaknat, asal kata dari Al-Bahl artinya laknat. Kalimat ‘bahalahullah bahlan’ artinya Allah melaknatnya. Kalimat ‘baahala al-qoumu ba’dhuhum ba’dha’ artinya saling melaknat satu sama lain.

Ibnu Mandzur menjelaskan, “Mubahalah adalah berkumpulnya sebuah kaum terhadap suatu perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka saling mengucapkan, ‘Semoga laknat Allah atas (pihak) yang dhalim di antara kita’.” (Lisanul Arob, 11/72)

Lafal doanya sendiri tidak ada ketentuan khusus dalam pandangan ahlus sunnah wal jamaah. Boleh diucapkan dengan lafal yang berbeda, sesuai dengan yang diinginkan oleh masing-masing pihak dalam berdoa agar diturunkan laknat kepada pihak yang berdusta.

Dalam kitab Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan, “Termasuk sunnah Rasulullah SAW dalam berdebat dengan ahlul batil apabila hujjah Allah SWT telah ditegakkan kepada mereka, sementara mereka tetap tidak mau kembali pada kebenaran—bahkan tetap keukeuh dengan kebatilannya—maka mereka diajak mubahalah. Allah SWt telah memerintahkan ini kepada Rasul-Nya dan Allah SWT tidak berfirman bahwa ini tidak untuk umatmu setelahmu.” (Zaadul Ma’ad, 3/653)

Allah SWT berfirman:

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Ali Imran: 61)

Ayat di atas adalah perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk menantang kaum Nasrani dari Najran untuk mubahalah. Karena mereka tetap bersikeras menyatakan Nabi Isa AS adalah anak Allah SWT. Padahal, ketika itu Rasulullah SAW sudah menjelaskan kepada mereka tentang hakikat Isa AS dengan berbagai macam dalil yang nyata. (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, 1/128-129)

Selain yang disebutkan dalam ayat di atas, disebutkan juga bahwa Nabi SAW juga pernah bermubahalah dengan orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin (Lihat: QS. Maryam: 75 dan Al-Baqarah: 94). Berikutnya seruan mubahalah juga dilakukan oleh sebagian para sahabat beliau, seperti Ibnu Abbas yang menantang orang yang berselisih pendapat dengannya dalam beberapa persoalan. Imam Auza’i, Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim juga pernah melakukan mubahalah. (Lihat: Zadul Ma’ad, 3/653, Fathul Bari 7/697, Majmu’ Fatawa 4/82, Syarah Qosidah Imam Ibnu Qoyyim, Ahmad Ibrahim, 1/31)

Praktek mubahalah yang disebutkan di atas tentu tidak dilakukan serampangan, yang menjadikan siapapun mudah mengajak mubahalah dengan orang yang tidak sependapat dengannya, apalagi perbedaan tersebut terjadi dalam urusan dunia.

Dalam kitab Syarh Qoshidah Ibnu Qoyyim, hal: 1/37, Syaikh Ahmad bin Ibrahim berkata, “Sedangkan hukum mubahalah sebagian ulama telah menetapkan beberapa syarat yang mereka simpulkan dari Al-Qur’an, hadist, atsar dan perkataan para ulama. Mereka menyimpulkan bahwa mubahalah tidak boleh dilakukan kecuali pada perkara penting menurut syar’i, dimana di dalamnya tercampuri syubhat serta penolakan yang tidak sanggup dihadapi kecuali dengan cara mubahalah. Maka, syarat melakukannya yaitu setelah menegakkan hujjah, menghilangkan syubhat, mendahulukan nasihat dan peringatan, yang semua itu tidak berarti sama sekali bagi dia dan dapat menciptakan mudharat di dalamnya.”

Lalu, Bolehkah Mubahalah Dilakukan antara Sesama Muslim?

Sebelum memahami boleh atau tidaknya bermubahalah dengan sesama Muslim, mungkin ada baiknya kita memahami terlebih dahulu hukum melaknat orang Muslim itu sendiri di dalam Islam. Salah satu hak seorang Muslim atas Muslim yang lain adalah tidak boleh saling melaknat. Bahkan dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda:

 وَمَنْ لَعَنَ مُؤْمِنًا فَهُوَ كَقَتْلِهِ وَمَنْ قَذَفَ مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ

“Barangsiapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya dan barangsiapa yang menuduh mukmin telah kafir maka ia seperti membunuhnya.” (HR. Bukhari)

Hadits di atas mengingatkan kita agar jangan sampai melaknat sesama Muslim. Karena melaknat sama artinya menganggap dia terkutuk dari Rahmat Allah SWT. Banyaknya perbedaan bukan sesuatu yang asing terjadi di tengah-tengah kaum Muslimin. Namun, semua itu tentu tidak layak jika harus berujung kepada sikap saling melaknat atau ber-mubahalah.

Meskipun demikian, terkadang perbedaan yang muncul memang cukup rumit. Salah satunya karena ada sebagian kelompok yang menyimpang dari perkara ushul di dalam Islam. Sehingga dalam konteks seperti ini, kewajiban pertama sebagai sesama Muslim adalah mendakwahinya, menyampaikan nasihat, menyingkap tabir syubhat yang menghalanginya dari pintu kebenaran, serta menghadirkan hujjah dengan dalil-dalil yang kuat.

Jika kemudian semua langkah tersebut tidak bermanfaat baginya, atau justru menjadikannya semakin ngotot terhadap kebatilan yang diyakininya, maka kewajiban selanjutnya adalah mendoakannya agar diberi petunjuk oleh Allah SWT dan sadar dari kesesatan tersebut.

Berikutnya, ketika usaha tersebut tidak menyadarkannya dari kesesatan, bahkan dia semakin getol menyebarkan kesesatan tersebut di tengah-tengah umat, lalu syubhat dan fitnahnya pun semakin besar,  maka jurus terakhir untuk mematahkan argumentasinya adalah dengan cara mubahalah. Yakni manakala dia memang tetap bersikeras menyatakan dirinya tidak salah sementara banyak orang yang tersesat karena perilakunya. Tentunya, mubahalah tersebut tidak dilakukan kecuali memang tidak ada jalan lain selain cara tersebut.

Boleh atau tidaknya mubahalah sejatinya bukan karena Muslim atau tidak, tapi lebih kepada besar atau tidaknya kesesatan serta pengaruhnya di masyarakat. Jika kesesatan tersebut masuk dalam bagian perkara ushul dan pengaruhnya besar, maka tidak mengapa jika diajak untuk bermubahalah. Akan tetapi, sekali lagi hal itu dilakukan setelah melewati seluruh proses dan ketentuan yang disebutkan di atas.

Mubahalah tidak hanya dikhususkan kepada Nabi SAW. Akan tetapi ia berlaku umum terhadap seluruh umat. Sebagaimana ajakan mubahalah juga tidak hanya dikhususkan kepada orang Nasrani dan Yahudi, akan tetapi dia berlaku umum terhadap siapa pun yang menyelisihi kebenaran dan tetap bersikeras dengan kesesatannya serta tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun telah dihadirkan berbagai macam dalil dan bukti yang kuat kepadanya. (Lihat: Zadul Ma’ad, 3/64 dan Fatawa Lajnah Daimah, 4/203-204).

Agar tidak semua orang gampang dalam melakukan mubahalah, para ulama pun menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi siapa saja yang terpaksa menempuh cara seperti ini dalam menyelesaikan masalah. Di antara syarat-syarat tersebut adalah:

  1. Ikhlas semata-mata mengharap keridhaan Allah
  2. Memiliki ilmu yang mapan, karena mubahalah hanya boleh dilakukan setelah melewati proses diskusi atau debat. Semua itu tidak boleh dilakukan tanpa ilmu, karena debatnya orang bodoh lebih banyak mendatangkan kerusakan daripada perbaikan.
  3. Orang yang mengajak mubahalah adalah orang yang shalih dan bertaqwa.
  4. Dilakukan setelah menyampaikan hujjah terhadap pihak yang menyelisihi, menjelaskan kebenaran kepadanya dengan dalil dan bukti yang jelas.
  5. Mubahalah hanya dilakukan pada perkara penting dalam agama dan bisa diharapkan terwujudnya maslahat bagi Islam dan kaum Muslimin atau terhindar dari mafsadat.
  6. Tidak boleh dilakukan pada perkara ijtihadiyah, dimana kaum muslimin boleh berbeda pendapat di dalamnya. Sedangkan apa yang dilakukan oleh Ibnu Abbas dan Imam Al-Auza’i yang mengajak mebuhalah dalam perkara furu’, menurut Syaikh Utsaimin hal tersebut adalah ijtihad mereka dalam kasus yang mereka hadapi.

Seluruh syarat yang disebutkan di atas menggambarkan betapa urusan mubahalah ini bukan perkara yang sepele. Tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tapi hanya dilaksanakan oleh orang-orang tertentu saja dalam perkara-perkara syar’i yang dianggap urgen. Sehingga wajar jika praktek ini sangat jarang terjadi di kalangan para ulama salaf, walaupun perbedaan yang mereka hadapi tidak lebih sedikit dibandingkan saat ini.  Karena sejatinya kesesatan itu dilawan dengan dalil, bukan dengan ajakan mubahalah. Wallahu alam bish shawab!

Penulis: Fahrudin

One response to “Haruskah Mengambil Jalan Mubahalah?”

  1. dian says:

    Kalau memang kedua belah pihak sudah menyakini pendapat mereka masing2 … kenapa harus takut dengan mubahalah?
    Yang menolak mubahalah .. berarti ada sesuatu di hatinya yang dia sendiri bisa jadi menyakini atau menolaknya.

Leave a Reply