KIBLAT.NET – Muhammad Al-Baqir bin Zainul Abidin—saudara Imam Zaid bin Ali bin Zainul Abidin—dijuluki “Al-Baqir” (pembedah) karena ia menguasai ilmu secara mendalam. Suatu hari ia bertemu dengan Abu Hanifah. Pertemuan pertamanya terjadi di Madinah, diwarnai sedikit “ketegangan.”
“Kamukah orang yang telah mengubah agama dan hadits kakekku (Nabi Muhammad) dengan qiyas?” tanya Muhammad Al -Baqir.
Nu’man bin Tsabit atau yang lebih dikenal dengan Abu Hanifah ini adalah pendiri madzab Hanafiyah yang dikenal kental dengan suasana ra’yu. Maka dari itu, Abu Hanifah dituduh lebih mengedepankan ra’yu daripada hadits Rasulullah.
“Aku mustahil melakukannya,” jawab Abu Hanifah
“Kamu telah melakukannya!” cecar Al-Baqir
“Mari kita duduk terlebih dahulu. Kehormatan Anda di hadapanku sama dengan kehormatan kakek Anda di hadapan sahabat-sahabatnya ketika beliau masih hidup,” kata Abu Hanifah.
Muhammad Al-Baqir duduk, sementara Abu Hanifah berlutut di hadapannya.
“Aku ingin menanyakan tiga hal kepadamu. Aku mohon kamu sudi menjawabnya, mana yang lebih lemah, pria atau wanita?”
“Wanita,” jawab Al-Baqir
“Berapa jatahnya?” tanya Abu Hanifah lagi.
“Jatah pria dua dan jatah wanita satu,” jawab Al-Baqir lagi
“Inilah sabda kakekmu. Andai aku telah mengubah agama kakekmu dengan qiyas, tentu jatah pria satu dan jatah wanita dua. Karena wanita lebih lemah daripada pria,” jelas Abu Hanifah.
“Mana yang lebih utama, puasa atau shalat?” tanya Abu Hanifah.
“Shalat,” jawab Al-Baqir.
“Inilah sabda kakekmu. Andai aku telah mengubah agama kakekmu dengan qiyas, tentu aku akan menyuruh wanita yang telah suci dari haid meng-qadha shalat dan melarangnya meng-qadha puasa,” jelas Abu Hanifah.
“Mana yang lebih najis, air seni atau mani?” tanya Abu Hanifah.
“Air seni lebih najis,” jawab Al-Baqir.
“Inilah sabda kakekmu. Andai aku telah mengubah agama kakekmu dengan qiyas, tentu aku akan mewajibkan mandi karena kencing dan mewajibkan wudhu karena mani. Tapi, aku mustahil mengubah agama kakekmu dengan qiyas,” jelas Abu Hanifah.
Muhammad Al-Baqir langsung memeluk dan mencium kening Abu Hanifah.
Penulis : Dhani El_Ashim
Diambil dari kitab Biografi Empat Imam Madzab karya Syaikh Abdul Aziz Asy-Syinawi