KIBLAT.NET – Bagaimanapun juga eksekusi terhadap 47 orang tahanan di Arab Saudi masih menyisakan kebingungan bagi umat Islam. Dari komposisi 47 tahanan itu, hanya 4 di antaranya berasal dari kaum Syiah, sementara 43 sisanya adalah Muslim Sunni.
Para pengamat Timur Tengah menilai eksekusi yang dilakukan Arab Saudi terhadap ulama Syiah, Nimr al-Nimr jelas akan memicu kemarahan sektarian di Timur Tengah. Tetapi, dengan menempatkan puluhan tahanan mujahidin Al -Qaidah secara bersamaan juga dapat menyampaikan pesan yang kuat bahwa perlawanan yang datang dari Muslim Sunni juga tidak akan ditoleransi oleh pihak kerajaan.
Riyadh tahu betul eksekusi atas Nimr al-Nimr dan tiga penganut Syiah lainnya yang terlibat dalam pembunuhan polisi akan mendorong kemarahan dan protes di luar negeri, namun tampaknya mereka juga telah menghitung bahwa konsekuensi atas eksekusi itu masih akan terkendali. Setidaknya di dalam negeri Saudi sendiri. (Baca juga: Kantor Kedutaan Saudi di Teheran dan Mashad Diserang Warga Iran)
Di tengah meningkatnya gejolak regional dan serangkaian pengeboman dan penembakan yang menewaskan lebih dari 50 warga Saudi sejak akhir 2014, eksekusi Riyadh terhadap 43 jihadis adalah peringatan. Bahwa semua dukungan rakyat Saudi untuk kelompok mujahidin Sunni akan diberangus.
Syaikh Awadh al-Qarni, seorang ulama Sunni terkemuka yang mendukung pemerintah Saudi, berkicau di akun twitternya mengatakan bahwa eksekusi itu merupakan “pesan kepada dunia dan para penjahat; prinsip-prinsip kami tidak akan tergoyahkan dan tidak ada batasan dalam keamanan kami”.
Dilema Saudi
Di satu sisi, Dinasti Saud dan keluarga kerajaan mengkhawatirkan perluasan pengaruh Syiah Iran di Timur Tengah sebagai ancaman bagi keamanan mereka dan mengganggu ambisi mereka memainkan peran utama di antara negara-negara Arab.
Di sisi lain, pihak kerajaan juga takut terhadap ancaman pemberontakan oleh Muslim Sunni mayoritas yang dianggap berbahaya bagi dinasti. Selama ini, pihak kerajaan mendasarkan pemerintahannya pada dukungan konservatif di dalam negeri dan kedekatan aliansinya dengan Barat.
Seluruh ancaman masa lalu Dinasti Saud, dari mulai pemberontakan suku-suku pada tahun 1920 hingga kerusuhan pada tahun 1960, pengepungan di Masjidil Haram Mekah pada tahun 1979 dan aksi protes pada 1990-an, disebabkan oleh kemarahan kaum Sunni konservatif terhadap kebijakan modernisasi atau hubungan Saudi yang semakin lekat dengan Barat.
Itulah sebabnya perlawanan semesta Al-Qaidah yang dimulai pada tahun 2003 -dan menyerang Dinasti Saud dengan memutarbalikkan branding ideologi konservatif Salafi Sunni Islam untuk melawan kerajaan itu sendiri- dianggap sebagai sinyal bahaya yang paling kuat. Kemunculan gerakan jihad semacam Daulah Islam (ISIS), juga dianggap sebagai masalah.
Warga Saudi mungkin tak banyak yang mendukung secara nyata kelompok Daulah Islam (ISIS), tapi mayoritas di antaranya mungkin bersimpati dengan tujuan mereka yang lebih luas; retorika anti Syiah dan anti Barat, serta kritik terhadap korupsi Dinasti Saud.
Dengan mengeksekusi sejumlah ideolog dan pejuang Al-Qaidah, Riyadh ingin menunjukkan tekadnya untuk menghancurkan akar dukungan yang bisa menimbulkan riak-riak perlawanan. Sekaligus mengeksekusi empat penganut Syiah, yang pasti akan menimbulkan kemarahan Iran. Saudi ingin meraih dukungan Muslim Sunni konservatif berada di pihak mereka. Selemparan batu, dua burung kena!
Arab Saudi juga percaya bahwa mereka tak hanya menghadapi ancaman fisik, tetapi pertempuran ideologi memperebutkan rivalitas interpretasi terhadap makna Salafi Islam. Hal ini semakin kentara jika kita melihat fokus media pemerintah Saudi terhadap sosok Syaikh Faris al-Shuwail al-Zahrani rahimahullah di antara ideolog Al-Qaidah yang dieksekusi.
Syaikh Faris al- Zahrani, yang dideskripsikan berjenggot, berkacamata, dan telah ditahan di penjara sejak tahun 2004, digambarkan oleh media Saudi sebagai ideolog utama Al-Qaidah yang dituding terlibat dalam serangkaian serangan terhadap pemukiman warga asing, kantor polisi dan fasilitas minyak menewaskan ratusan orang.
Kerajaan Saudi menuding Syaih Faris sebagai “salah satu biang perselisihan dan pengkhotbah takfiri”. Zahrani dituduh membantu mengartikulasikan pandangan jihad bahwa Dinasti Saud telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam, dan bahwa itu adalah tugas umat Islam untuk membunuh mereka dan sekutu mereka.
Media resmi Saudi mempresentasikan Syaikh Zahrani dan tokoh Syiah Nimr al-Nimr dalam timbangan yang setara, bahwa keduanya dapat “menimbulkan dorongan kekerasan dan terorisme”. Kata itu yang dipilih oleh koran pagi Saudi pasca eksekusi untuk menggambarkan mereka berdua.
Tampaknya kerajaan Saudi tengah berupaya untuk meyakinkan Sunni konservatif bahwa eksekusi pada Sabtu lalu itu berarti Riyadh akan terus memimpin memperjuangkan sekte mereka terhadap agresi ideologi Syiah di Timur Tengah.
“Saya rasa eksekusi Syiah adalah upaya pencegahan yang sangat nyaman (dilakukan),” kata Bernard Haykel, seorang profesor dalam bidang studi Timur Tengah di Universitas Princeton.
Haykel menambahkan bahwa sementara ini Dinasti Saud tidak menganggap kematian beberapa tokoh Syiah sebagai ancaman seperti halnya kaum jihadis. “Eksekusi mati itu justru membantu mereka menggalang basis konservatif mendukung penguasa,” pungkasnya.
Bahan artikel: Saudi mass execution driven by fear of Sunni militancy – Reuters
Penulis: Fajar Shadiq