Bagian 2 dari tulisan “Cara Penjajah Salibis Barat Menelikung Revolusi Umat” dapat Anda baca di sini.
KIBLAT.NET – Umat Islam beberapa kali melakukan jihad fi sabilillah dan revolusi untuk mengusir penjajah Inggris dari bumi Mesir. Penjajah salibis Inggris mengakali gerakan-gerakan rakyat tersebut dengan memakai boneka-bonekanya di Mesir.
Sa’ad Zaghlul dan Siasat Menelikung Revolusi Mesir
Kerajaan Mesir pada awal abad 20 M, sebelum terjadinya perang Dunia Pertama, berada dalam puncak keterpurukannya. Secara de jure Khudaiwi Taufik bin Ismail Pasya adalah raja Mesir, namun secara de facto ia hanyalah boneka di tangan penjajah Inggris yang telah menduduki Mesir sejak 1882 M. Mesir pada saat itu dilanda kelemahan di sektor ekonomi, politik, militer, dan sosial-budaya. Penjajah Inggris telah menindas rakyat Mesir sedemikian rupa sehingga mereka hidup dalam kemiskinan, kesulitan mata pencaharian hidup, dan kebodohan.
Pada tahun 1900an M, rakyat Mesir bangkit melakukan revolusi menentang kebiadaban penjajah Inggris dan ketidakberdayaan raja Mesir. Revolusi rakyat tersebut dipimpin oleh Musthafa Kamil dan Muhammad Farid Wadji, dua tokoh terpenting gerakan nasionalisme (Al-Hizb Al-Wathani). Keduanya menggerakan rakyat, buruh, petani, pelajar, dan mahasiswa untuk melakukan demonstrasi-demonstrasi sipil dan pemogokan-pemogokan massal di seluruh Mesir.
Ustadz Hasan Al-Banna dalam kitabnya, Mudzakkiratu Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah, menjelaskan partisipasi aktif beliau dalam revolusi rakyat tersebut. Saat itu beliau adalah seorang pelajar SMP di Madrasah Al-Mahmudiyah. Saat beliau naik ke jenjang SMA di Madrasah Al-Mu’allimin Damanhur, beliau semakin aktif terlibat dalam revolusi rakyat tersebut. Penjajah Inggris mengerahkan tentara Inggris dan polisi Mesir untuk memberangus gerakan revolusi rakyat Mesir tersebut.
Penjajah Inggris sejak lama telah mengkader orang-orang yang akan dimunculkannya sebagai boneka-boneka yang setia menjalankan misi-misi penjajahan Inggris di Mesir. Dengan berbagai cara, penjajah Inggris mempergunakan raja Mesir yang terancam kedudukannya oleh revolusi rakyat, untuk menyingkirkan tokoh-tokoh revolusi rakyat. Musthafa Kamil meninggal dalam usianya yang masih muda, 35 tahun. Lalu Inggris memunculkan Sa’ad bin Ibrahim Zaghlul untuk mengendalikan revolusi rakyat, bahkan memandulkannya.
Sa’ad Zaghlul pada awalnya adalah anggota gerakan revolusi rakyat. Ia pernah belajar kepada Jamaluddin Al-Afghani dan menyertai Muhammad Abduh dalam mengelola majalah Al-Waqai’. Ia turut serta dalam aksi-aksi demonstrasi menentang penjajah Inggris, kemudian dipenjara selama beberapa bulan. Selepas dari penjara, ia berhasil “digalang” oleh Inggris. Ia memulai karirnya dari menjadi seorang pengacara, kemudian menjadi hakim, lalu hakim agung.
Inggris melihat kesetiaan Sa’ad Zaghlul kepada misi-misi penjajahan Inggris, maka Inggris mengangkatnya sebagai Menteri Pendidikan Mesir, kemudian Menteri Kehakiman Mesir, lalu wakil Ketua Dewan Pembuat Undang-Undang Mesir. Semua jabatan strategis itu telah diraih oleh Sa’ad Zaghlul sebelum terjadinya Perang Dunia II, 1914 – 1918 M.
Sa’ad Zaghlul adalah boneka Inggris yang merintis sekulerisasi dunia pendidikan dan hukum di Mesir. Istri Sa’ad Zaghlul adalah wanita pertama yang mulai melepaskan hijabnya dan menyerukan emansipasi wanita ala Barat di Mesir. Meski demikian, Sa’ad Zaghlul tetap memegang tongkat kepemimpinan al-Hizb Al-Wathani, dan di depan publik menampakkan nasionalisme dan sikap memusuhi Inggris. Demikianlah sandiwara yang dimainkan Inggris dan Sa’ad Zaghlul.
Kemerdekaan Semu, Taktik Inggris Mengendalikan Mesir
Selama Perang Dunia Pertama, mayoritas rakyat Mesir mendukung pihak Daulah Utsmaniyah dan menghendaki pengusiran penjajah Inggris dari bumi Mesir. Al-Hizb Al-Wathani sebagai partai politik terbesar di Mesir menjadi motor tuntutan kemerdekaan Mesir, dengan keinginan tetap menginduk kepada Daulah Utsmaniyah.
Sementara itu Raja Mesir Khudaiwi Abbas Hilmi (Abbas II) bin Taufik Pasya dengan dukungan partai istana, Hizbul Ishlah, menghendaki kemerdekaan tanpa menginduk kepada Daulah Utsmaniyah.
Satu partai besar lainnya adalah Hizbul Ummah pimpinan Mahmud Sulaiman, Ali Sya’rawi, Hasan Abdur Razzaq, dan Ahmad Luthfi Sayyid. Hizbul Ummah menghendaki kemerdekaan Mesir, namun bersikap lunak dan mau berkompromi dengan penjajah Inggris, di saat yang sama menunjukkan permusuhan kepada Raja Khudaiwi Abbas II Pasya.
Menghadapi situasi panas di Mesir, penjajah Inggris menempuh sejumlah langkah:
- Mendatangkan orang-orang Kristen dari Lebanon, Suriah, dan Armenia ke Mesir untuk membantu pekerjaan Inggris. Inggris menyerahkan 30 % posisi-posisi penting dalam pemerintahan di Mesir kepada mereka.
- Gubernur Jendral Inggris di Mesir menjalin hubungan sangat erat dengan tokoh-tokoh Mesir yang siap mengabdi untuk kepentingan Inggris, khususnya Sa’ad Zaghlul dari kalangan cendekiawan dan Syaikh Muhammad Abduh dari kalangan ulama.
- Inggris mencopot Khudaiwi Abbas Hilmi dari jabatannya sebagai raja Mesir, karena dianggap memiliki keberpihakan kepada Daulah Utsmaniyah. Inggris kemudian mengangkat pamannya, Husain Kamil, sebagai raja boneka baru di Mesir dengan gelar sultan, untuk menandingi sultan Turki Utsmani.
- Inggris membubarkan partai-partai politik, membredel surat kabar-surat kabar, dan melarang kebebasan pers. Inggris menguras kekayaan Mesir untuk membiayai perang. Inggris mempekerjakan rakyat Mesir dalam kerja rodi untuk memperbaiki jalan raya, menggali sumur-sumur dan saluran air, serta membuat parit-parit pertahanan.
Sebelum Perang Dunia Pertama berakhir, Sultan Husain Kamil meninggal. Untuk itu Inggris mengangkat saudaranya, Ahmad Fuad bin Ismail Pasya, sebagai sultan boneka baru di Mesir.
Setelah Perang Dunia Pertama selesai, Inggris menempuh cara baru untuk menina bobokkan rakyat Mesir. Inggris hendak menyerahkan kepemimpinan Mesir kepada boneka-boneka setianya dan menampakkan keinginan Inggris untuk hengkang dari Mesir.
Untuk itu, Inggris merancang sandiwara kemerdekaan di Mesir. Inggris memberi isyarat lampu hijau kepada tiga anak asuhnya untuk bergerak, yaitu Sa’ad Zaghlul, Ali Sya’rawi, dan Abdul Aziz Fahmi. Mereka menggelar rapat akbar rakyat Mesir pada tanggal 6 Shafar 1337 H untuk menuntut kemerdekaan Mesir. Langkah selanjutnya adalah ketiga orang tersebut pergi ke Paris untuk menghadiri Konferensi Perdamaian dan mengajukan tuntutan kemerdekaan kepada para pemimpin negara Sekutu.
Jika hal itu berjalan lancar, tentu saja tidak akan ada kesan apa-apa di tengah rakyat Mesir. Untuk itu, Inggris merancang agar peristiwa itu menjadi kekacauan besar. Ketiga tokoh binaan Inggris tersebut meminta izin kepada Gubernur Jendral Inggris di Kairo untuk bisa berangkat ke Paris, namun Gubernur Jendral Inggris tidak mengeluarkan izin.
Sa’ad Zaghlul bersama Ismail Shidqi, Muhammad Mahmud, dan Hamd Al-Basil berniat pergi ke Paris secara paksa. Lalu penjajah Inggris berpura-pura menangkap mereka dan memenjarakan mereka di Malta. Hal itu mengundang protes massal di seantero Mesir. Penduduk Mesir mengepung posko-posko militer Inggris, sehingga tentara Inggris dipulangkan dari Mesir dengan pesawat. Perdana Menteri Mesir, Husain Rusydi, mengundurkan diri sehingga pemerintahan mengalami masa vacum.
Kaum wanita tak ketinggalan beraksi. Mereka menggelar demonstrasi dipimpin oleh Huda Sya’rawi (istri Ali Sya’rawi) dan Shafiyah bintu Musthafa Fahmi (dikenal juga sebagai Shafiyah Zaghlul. Ia adalah istri Sa’ad Zaghlul). Anehnya, jika mereka benar-benar berdemonstrasi menentang Inggris, kenapa dalam aksinya mereka melucuti dan membakar hijab yang mereka pakai? Demonstrasi menentang penjajah Inggris ataukah demonstrasi skenario Inggris untuk melucuti ajaran-ajaran Islam dan mensosialisasikan emansipasi wanita ala Barat?
Dengan dukungan aksi mogok massal rakyat Mesir, rombongan Sa’ad Zaghlul akhirnya dibebaskan dan bisa menghadiri Konferensi Perdamaian di Paris, 11 April 1919 M. Lalu Sa’ad Zaghlul berulangkali memimpin delegasi perundingan Mesir dengan wakil Kerajaan Inggris di Kairo, Paris, dan London. Namun akhirnya semua perundingan itu menemui jalan buntu.
Inggris memandang Sa’ad Zaghlul belum saatnya menjadi pengendali Mesir untuk kepentingan Inggris. Sebab, saat itu ia masih memiliki pesaing dari kalangan tokoh-tokoh politik. Untuk itu Inggris ingin melemahkan lawan-lawan politik Sa’ad Zaghlul, dan di saat yang sama menaikkan popularitas Sa’ad Zaghlul di mata rakyat Mesir.
Inggris mengasingkan Sa’ad Zaghlul di Aden. Lalu delegasi Mesir pimpinan Abdul Khaliq Tsarwat, Adli Yakun, dan Ismail Shidqi dan wakil Kerajaan Inggris mencapai kata sepakat tentang “kemerdekaan Mesir”. Inggris mengumumkan kesepakatan tersebut dalam Surat Keputusan tanggal 2 Rajab 1340 H (28 Februrari 1922 M), yang isinya adalah:
- Inggris mengakui Mesir sebagai negara merdeka dan masa Protektorat Inggris atas Mesir dinyatakan berakhir.
- Sultan Ahmad Fuad bin Khudaiwi Pasya diangkat sebagai Raja Mesir (menggantikan kakaknya Sultan Husain Kamil, yang meninggal pada tanggal 9 Oktober 1917 M).
- Raja Mesir, Sultan Ahmad Fuad, menetapkan Undang-undang Darurat Militer yang berlaku atas semua rakyat Mesir, sebagai ganti dari Undang-undang Sipil yang telah berlaku sejak 2 November 1912 M.
- Raja Mesir secara mutlak berkewajiban untuk:
- Mengamankan jalur transportasi Inggris di Mesir.
- Melindungi Mesir dari setiap agresi atau intervensi asing, baik dengan potensi Kerajaan Mesir sendiri maupun dengan bantuan (Inggris).
- Melindungi kepentingan-kepentingan asing di Mesir dan kelompok minoritas.
- Mempertahankan Sudan (saat itu Sudan berada dalam penjajahan bersama Inggris – Mesir, edt).
Kesepakatan tersebut seolah-olah membuahkan kemerdekaan bagi Mesir dari penjajahan Mesir. Namun sebenarnya hanyalah taktik Inggris untuk menjajah Mesir secara tidak langsung, dengan mempergunakan bonekanya yaitu Raja Ahmad Fuad. Ahmad Fuad sendiri adalah orang yang dicalonkan oleh Inggris menjadi raja baru, menggantikan raja Husain Kamil yang meninggal sebelumnya.
Atas kebaikan Inggris kepadanya tersebut, Raja Ahmad Fuad sangat berterima kasih. Seusai diresmikan menjadi raja Mesir, Ahmad Fuad langsung mengumumkan Mesir akan menyerahkan 3,5 juta pound Mesir kepada Inggris untuk kepentingan-kepentingan militer. Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis: Fauzan
Referensi:
Mahmud Syakir, At-Tarikh Al-Islami XIII: Wadi An-Nil, Mishra, wa As-Sudan, Beirut: Al-Maktab Al-Islami, cet. 2, 1421 H.
Muhammad Moro, Al-Harakah Al-Islamiyah fi Mishra: Ru’yatun min Qurbin, Kairo: Ad-Dar Al-Mashriyah, cet. 1, 1414 H.
Muhammad Qutub, Waqi’una Al-Mu’ashir, Kairo: Dar Asy-Syuruq, cet. 1, 1418 H.
Dr. Ali Juraisyah, Hadhiru Al-Alam Al-Islami, Jeddah: Darul Mujtama’, cet. 4, 1410 H.