Tulisan ini adalah lanjutan | Baca tulisan sebelumnya
KIBLAT.NET — Judul di atas bukan berarti kita ingin keluarga menjadi radikal dalam pemahaman yang selama ini banyak diperkenalkan media kepada publik. Definisi yang seringkali dikaitkan dengan aksi terorisme. Tentu saja, kita tidak ingin menjadikan keluarga dan kerabat kita membunuh atau melukai orang berbeda agama dengan serampangan. Atau mengobral vonis kafir secara asal-asalan.
Masalahnya, deradikalisasi (sekarang diganti lagi dengan Prevent to Violation Extrimism, PVE, yaitu program pencegahan tindak ekstrimisme) hanya akal-akalan saja untuk mengganggu bahkan mencerabut ajaran Islam dari pemeluknya. Perang terhadap ekstrimisme, kalau dilihat pada arahan Barat dan aplikasinya di lapangan mengacu kepada perang terhadap ajaran Islam—cepat atau lambat, terang atau samar-samar. (Baca juga: Ketika Rumah Pribadi Jadi Target Deradikalisasi)
Belum terbayang dalam benak kita bagaimana program pencegahan ekstrimisme bakal merambah ruang paling privat kita bernama rumah atau keluarga. Namun di London, seorang anak yang memprotes sebuah kezaliman Israel atas Palestina, bakal diawasi secara khusus. Sebab, hal semacam itu diyakini sebagai proses awal terbentuknya radikalisasi dan ekstrimisme.
Guru dan tenaga medis dijadikan sebagai mata dan telinga pemerintah untuk mencegah radikalisasi. Bahkan FBI sudah meminta semua sekolah menengah atas di seluruh negara bagian Amerika untuk melaporkan siswa yang mengkritik kebijakan pemerintah dan tindak korupsi sebagai potensi teroris masa depan! Sungguh merupakan perang sapu jagat yang menyapu bersih semuanya dengan jurus mabok.
Jurus mabok itu sangat mungkin akan menyentuh area sangat privat bernama keluarga. Sebagaimana dalam tulisan sebelumnya, ada tujuh tindakan prioritas dalam pencegahan ekstrimisme, salah satu langkahnya adalah membangun program pengawasan terhadap keluarga. Dalam konteks menanamkan dan mempengaruhi pemikiran dan loyalitas, keluarga diyakini sebagai media paling ampuh. (Baca juga: Tak Hanya Dewasa, Balita di Inggris Juga Dideradikalisasi)
Bahkan, kalau standar yang digunakan FBI untuk mencurigai potensi teroris masa depan di kalangan siswa sekolah menengah atas, keampuhan keluarga lebih daripada itu. Masih ungkap Mohammad M. Hafez dalam jurnal CTC Sentinel yang terbit 19 Februari 2016 lalu, “penularan” ideologi tersebut bahkan tidak menggunakan pendekatan-pendekatan seperti isu ketidakadilan dan penindasan terhadap Muslim, doktrin-doktrin ideologis, ataupun politik. Tetapi “hanya” dengan pendekatan cinta, kepercayaan, dan ikatan seumur hidup. Pada bagian lain di jurnal tersebut, Hafez menyebut, “Komitmen-komitmen emosional dan rasa saling menghormati yang tinggi.”
Menariknya, cinta dan kepercayaan serta ikatan keluarga itulah yang menjadi tumpuan dasar gerakan dakwah yang dibangun Rasulullah Muhammad SAW pada tahun-tahun pertama kenabian. Khadijah sang istri, Abbas sang paman beserta anaknya, Ali bin Abi Thalib sang sepupu, adalah contoh betapa ikatan keluarga (family bond) menjadi penopang utama sebuah ideologi yang menjadi musuh tatanan dunia saat itu.
Mengacu pada analisis Hafez di atas, mungkin sebab pendekatan cinta, kepercayaan dan mekanisme sosial-psikologis-lah, yang membuat Muhammad SAW berhasil membangun jaringan ideologi di dalam struktur keluarga dan kerabatnya. Apalagi, Al-Quran secara lugas memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menempatkan keluarga terdekat sebagai prioritas obyek dakwah.
وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْأقْرَبِيْنَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,”(QS. Asy-Syuara: 214)
Mungkin di sinilah Hafez dan para pengamat kontra-terorisme lupa, bahwa sebagai sebuah ideologi yang kerap distigmakan terkait terorisme, Islam lahir dan berkembang melalui sebuah proses alamiah sesuai fitrah manusia. Tak ada rekayasa, hipnotis atau upaya pemaksaan lainnya. Metode ini juga yang mereka lupakan saat membahas Tsarnaev, Kouachi maupun Abdussalam sekeluarga—pelaku serangan terhadap kepentingan Barat dalam waktu terakhir ini.
Inilah yang seharusnya membuat mereka berpikir ulang sebelum nekat menerabas wilayah privasi—seperti keluarga—saat berperang melawan ekstrimisme. Di sisi lain, ini pula yang seharusnya menjadi renungan bagi aktivis Islam.
Bahwa cinta dan hangat kepada keluarga, selain sebagai sebuah kewajiban dalam Islam dan juga perilaku yang dicontohkan Nabi SAW, hal itu merupakan senjata sekaligus perisai utama yang membentengi keluarga dari serbuan kampanye deradikalisasi Barat.
Tulisan ini adalah lanjutan | Baca tulisan sebelumnya
Penulis: Hamdan